Kampung Sade,
menarik perhatian
Wisatawan
Suku
Sasak di Desa JumSade, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Warga Desa
Sade menjajakan kain tenun khas Lombok kepada wisatawan yang berkunjung ke
kampung tradisional tersebut. Ini merupakan kegiatan sehari-hari mereka.
Orang
Sade memang beruntung. Selama ini, tenun dan pariwisata telah menjadi sumber
penghasilan utama, selain bertani. Di musim pancaroba seperti sekarang, lahan
banyak ditanami kedelai dan palawija. Sambil menunggu tanaman panen, otomatis
penghasilan dari berjualan kain tenun dan pendukungnya yang menjadi andalan
untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Penduduk
sana Semua menenun seperti yang dikatakan oleh salah satu penduduk sana yakni
Naya’an (40) ”Semua warga di sini menenun meskipun mereka punya lahan.
Rata-rata lahan di sini sempit. Saya sendiri belajar menenun sejak kecil, saat
berumur 10 tahun,”, yang tengah menyelesaikan sebuah songket di depan rumahnya.
Perempuan Sasak bisa menghabiskan waktu satu bulan untuk menenun songket.
Sementara untuk ukuran yang lebih kecil, seperti taplak meja atau sajadah,
hanya membutuhkan waktu satu minggu.
Tenun
Sasak memiliki banyak motif, di antaranya sabuk antang, subhanala, tapok
kemolo, dan ragi genep. Namun, dalam perkembangannya, saat ini ada beberapa
produk buatan luar desa yang dijual di Sade, seperti tas. Bahan tas berasal
dari tenun karya warga Sade. Oleh karena tidak ada mesin jahit, kain itu
dijahit di luar. Semua produk dihargai bervariasi, mulai puluhan sampai ratusan
ribu, tergantung jenis dan ukuran.
Selain
kain, rumah tradisional menjadi salah satu obyek menarik. Saat ini, ada 150
rumah tradisional dengan jumlah penghuni sekitar 700 jiwa di kampung itu. Ada
lima bentuk bangunan di dalamnya, yakni beruga sekenam yang biasa dipakai
sebagai tempat musyawarah memecahkan masalah, sunatan, dan perkawinan; beruga
sekebat untuk kegiatan seperti akikah; balai jajar, balai kodong, dan balai
tani. Selain itu, ada lumbung yang bentuknya khas.
Rumah
orang Sasak umumnya terdiri atas dua ruang. Ruang depan untuk orangtua dan
anak, sedangkan ruang belakang untuk dapur, tempat tidur gadis, dan tempat
melahirkan. Orang Sasak tidak mengenal lamaran sehingga untuk menikah si pria
harus membawa lari si perempuan atau kawin lari. Setelah itu mereka baru
memberi tahu orangtua.
Selain
dua ruang, rumah tradisional suku Sasak memiliki teras rendah dengan tangga
tiga buah. Semua itu memiliki filosofi. Teras rumah yang rendah mengandung
maksud agar tamu merunduk. Ada atau tidak pemilik rumah, mereka yang hendak
bertamu pasti merunduk. Adapun jumlah anak tangga melambangkan supaya kita
semua ingat kepada Yang Maha Kuasa, ingat kepada ibu, dan kepada ayah.
”Perkampungan
ini berdiri sejak 1907 dan tahun 1979 sudah menjadi tempat wisata. Dahulu,
semua rumah di kawasan ini adalah tradisional. Namun, sebagian kini berubah
dengan rumah model baru, yakni mereka yang tinggal di luar kampung. Yang
tinggal di dalam kampung Sade ini merupakan generasi kelima belas,” ujar
Ariyadi (23), warga setempat.
Uniknya
jika Berkunjung ke Kampung Sade, Desa Rembitan, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa
Tenggara Barat, bagaikan menelusuri sebuah labirin. Di kiri kanan berdiri rumah
tradisional suku Sasak dengan dinding anyaman bambu dan atap alang-alang.
Bagian teras rumah dimanfaatkan sebagai gerai untuk memajang aneka kain tenun
buatan tangan.
Puluhan
warga berbagai usia berkumpul. Sebagian menikmati sajian nasi dengan sayur
kedelai yang hanya diberi bumbu asam dan garam, sebagian sibuk membuat kulit
ketupat, dan sisanya memasak di tungku kayu. Saat itu, sebagian warga Sade
tengah mempersiapkan tradisi ngenguris atau ngurisan, sebuah ritual memotong
rambut pertama bayi yang baru lahir.
Puncak
acara ngenguris sendiri dilaksanakan keesokan harinya di makam leluhur.
Masyarakat Sasak di Sade masih teguh memegang tradisi. Dan, kegiatan itu
dilaksanakan secara gotong royong dari awal hingga usai. ”Ayo, siapa pun boleh
datang dan ikut menikmati,” ujar seorang warga sambil menyodorkan sepiring
nasi.
Hal
ini menjadi daya tarik terhadap semua wisatawan yang berkunjung kesana, Sementara
itu semakin siang wisatawan yang datang ke Sade silih berganti, terutama
wisatawan lokal. Mereka tiba dalam kelompok kecil dan langsung disambut oleh
pemandu yang notabene merupakan pemuda setempat. Mengenakan sarung dan ikat
kepala, mereka ramah menjelaskan kondisi sosial dan sejarah perkembangan
kampung mereka.
Seusai
mendapat penjelasan singkat di halaman beruga sekanam, wisatawan langsung
diajak menyusuri perkampungan. Wisatawan memang bukan hal baru di mata orang
Sade, termasuk anak-anak. Mereka fasih merayu wisatawan agar membeli cendera
mata, mulai dari gelang, kalung, gantungan kunci, hingga tentu saja kain tenun
buatan orangtuanya.
Warga
Desa Sade di Lombok Tengah, Nusa Tenggaara Barat. Di sini wisatawan dapat
melihat kehidupan dan rumah adat Suku Sasak. Warga juga menjual aneka kerajinan
seperti gelang dan kalung untuk dijual kepada wisatawan.
Hal
unik lainnya dari desaa ini adalah Warga Sade juga memiliki kebiasaan unik
dalam merawat rumah. Mereka memanfaatkan kotoran sapi dan kerbau untuk mengepel
lantai secara berkala. Mereka percaya tindakan ini bisa membuat lantai
mengilap, tidak lembab, dan menghindarkan dari nyamuk.
Begitulah
aktivitas keseharian yang melekat dengan dunia pariwisata menjadi denyut nadi
warga Sade yang terus berputar. Kearifan mereka merupakan modal untuk bisa
bertahan sekaligus mengikuti perkembangan zaman tanpa meninggalkan tradisi.
Abdul Manaf (23), salah satu pemandu wisata, mengatakan, rata-rata pengunjung
mencapai 500 orang per hari. Pengunjung ramai waktu libur sekolah atau sekitar
bulan Agustus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar