Senin, 04 Agustus 2014

Sejarah

Rumah sakit Simpang
Disulap Menjadi Delta Plaza




Plaza Surabaya yg juga dikenal dengan Delta Plaza adalah mall di pusat kota Surabaya yg pada jaman kolonial meruakan sebuah rumah sakit. Mall ini letaknya strategis, dekat Stasiun Gubeng, Balai Kota, dan Monumen Kapal Selam.   
Surabaya Plaza merupakan pusat perbelanjaan di Surabaya yang terletak di jantung kota, lokasinya bersebelahan dengan Monkasel Surabaya (Submmarine Monument) dan sangat dekat juga dengan Surabaya Plaza Hotel. Di dalamnya terdapat banyak fasilitas dan kebutuhan masyarakat sekitarnya. Namun ada hal yang unik jika menyingkap sedikit sejarah delta plaza ini.
Dahulunya, Plaza Surabaya atau Delta Plaza merupakan lokasi rumah Sakit bersejarah yaitu Dr. Soetomo saat itu. Namun, kini diubah menjadi salah satu pusat perbelanjaan yang memiliki 6 lantai dengan gedung megah dilengkapi parkir flat yang luas baik di bawah maupun di atas.
            Rumah sakit bersejarah tersebut biasa dikenal juga dengan sebutan rumah sakit Simpang, sekarang rumah sakit ini sudah musnah, berganti menjadi bangunan megah sebagai pusat perbelanjaan modern, Delta Plaza Surabaya. Padahal di tanah ini, sejarah berharga membentang, sejak jaman kekuasaan Deandels hingga masa kemerdekaan.
Sejarah mencatat bahwa Semula Rumah Sakit di Simpang ini diberi nama Centrale Burgerlijke Zienkeninrichting, kemudian terkenal dengan sebutan Centrale Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ). Tapi ada juga yang menyebut Simpang Hospital atau Rumah Sakit Simpang.
Rumah sakit ini dibangun atas perintah Deandels (1808) untuk melengkapi keberadaan rumah sakit sebelumnya yang relatif baik, tapi bangunannya terlalu rendah dan pengap. Namun pembangunan rumah sakit ini juga mengalami bongkar-bangun beberapa kali, karena pengerjaannya yang tergesa-gesa dan strukturnya terlalu lemah. Atau mengalami penambahan ruang, dari semula yang hanya mampu menampung sekitar 150 orang menjadi cukup untuk 200 orang.. Karena rumah sakit ini menjadi rujukan banyak pasien, dari Surabaya bahkan Jawa Timur, ruang-ruang itu tetap tidak cukup menampung pasien yang datang. Apalagi pada saat terjadinya wabah epidemi kolera (1868), pasien yang datang hingga tiga kali lipat. Terlebih lagi ketika banyak militer menderita sakit selepas mereka kembali dari ekspedisi Bali. Dalam sebuah kamar, bisa bercampur antara penderita kolera dan penderita sakit lainnya. Kebutuhan akan ruang lebih luas pun menjadi niscaya, lalu dibangunlah bangsal-bangsal. Tapi pasien yang datang melebihi kapasitas normal, sehingga terpaksa semua dijejalkan di situ.
            Bukan hanya itu saja tapi dari terbatasnya ruang-ruang yang ada, tapi juga karena perawat yang bertugas. Keterampilan dan keahlian yang pas-pasan, jumlah perawat yang tidak seimbang dengan jumlah pasien, gaji yang kecil (f 50 per bulan tanpa makan), makin menambah semrawut dan buruknya pelayanan. Bayangkan, untuk menangani kira-kira 600 pasien hanya ada 2 perwira kesehatan (waktu itu semua pelayanan rumah sakit dijalankan oleh tenaga militer) yang bertugas jaga 2 hari sekali. Kepala yang dibebani dengan berbagai pekerjaan tata usaha, akhirnya hanya mampu menangani para pasien militer yang berpangkat tinggi, sementara militer yang lebih rendah bantuan medisnya amat kurang.
            Dengan banyaknya kekurangan ini maka pemerintah Hindia Belanda (1851) mengembangkan pendidikan untuk dokter dan bidan. Seperti School voor Inlandche Genueeskundigen (sekolah untuk ahli kedokteran pribumi) yang kemudian diubah menjadi School tot Opleiding van Inlandche Artsen (STOVIA/Sekolah untuk Pendidikan Dokter Pribumi), dan School voor Inlandche Vroedvrouwen (sekolah untuk bidan pribumi). Tujuannya, yang pertama sebagai asisten dokter untuk mengurangi beban dokter dari Eropa, sedangkan lulusan sekolah bidan pribumi untuk menurunkan angka kematian bayi dan ibu yang melahirkan.
Rumah sakit Simpang kemudian mengalami perbaikan (1876). Sanitasinya dibuat lebih segar dan desinfeksi. Penderita penyakit biasa dengan yang menular dipisahkan dalam ruangan tersendiri, sehingga jumlah kematian menjadi menurun. Pada awal abad 20 (1916) dibentuklah Dinas Kebersihan (Hygienische Dienst) untuk Jawa Timur dan berdiri di bawah pimpinan Inspektur Kesehatan Rakyat (Dienst der Volksgezondheid) seperti halnya di Batavia (Jakarta, 1913) yang tugasnya meliputi pengumpulan data, penelitian, penyelidikan penyakit-penyakit yang menular dengan maksud untuk mencari cara yang paling efektif dalam memberantas penyakit yang tengah menyerang penduduk.
Dalam sejarah juga tercatat Di samping itu, pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan rumah sakit militer di Karangmenjangan (1937). Akibat pecahnya Perang Dunia II, pembangunan gedung itu sempat terhenti. Perang yang berkecamuk di Eropa maupun di Asia, terutama Asia Pasifik itu berpengaruh besar terhadap Indonesia yang waktu itu di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Belanda yang dibantu Inggris dan Amerika Serikat dapat dipukul mundur oleh tentara Jepang. Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda, Letnan Jenderal H Ter Poorten, atas nama Angkatan Perang Serikat di Indonesia menyerah kepada Angkatan Perang Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Imamura (1942), dan sejak itulah seluruh Hindia Belanda dikuasai Jepang (1942-1945).
Pemerintah Jepang lalu melanjutkan pembangunan rumah sakit Karangmenjangan untuk menampung tentara yang membutuhkan perawatan. Sedangkan rumah sakit Simpang tetap berfungsi sebagai RS Sipil dan diubah namanya menjadi Roemah Sakit Oemoem Poesat (RSOP) Simpang. Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, bangsa Indonesia telah mendahului dengan Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus 1945), meski belum ada penyerahan secara de facto dari Jepang kepada Sekutu. Di Surabaya kemudian dibentuk Pemerintahan Daerah dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Dalam upaya pengambilalihan kekuasaan, termasuk benda, gedung-gedung vital, senjata dan lain-lain melalui perjuangan hingga menimbulkan insiden berdarah.
Selanjutnya bisa ditebak, perkembangan kota Surabaya menuju kota modern telah merebut saksi sejarah yang sarat dengan peristiwa ini hingga musnah tanpa bekas. Padahal dilihat dari model, type dan konstruksinya, bangunan rumah sakit Simpang termasuk gapuranya termasuk arsitektur kuno yang langka, sehingga layak dilestarikan menjadi cagar budaya. sungguh besar peranan RS Simpang ini dalam masa pertempuran Surabaya 1945, untuk menggambarkan bagaimana suasana RS Simpang ketika masa perang itu 
Rumah sakit ini tinggal sebuah kenangan semata, tidak ada peninggalan dari bangunan tua dan bersejarah itu yang diabadikan sekarang berubah menjadi bangunan tinggi dan indah berfungsi sebagai pusat perbelanjaan di Surabaya yang terletak di jantung kota. Lebih tepatnya jalan pemuda. Seiring dengan perkembangannya Masih di tahun 1980-an, kawasan Rumah Sakit Umum (RSU) Simpang di Jalan Pemuda yang menjadi satu kesatuan dengan RSU Dr.Sutomo di Karang Menjangan, dibebaskan oleh investor. Tiga pusat kegiatan bisnis dibangun di atas lahan rumah sakit peninggalan penjajah Belanda itu. Satu kawasan induk diberi nama Surabaya Delta Plaza (SDP), kemudian diubah menjadi Plaza Surabaya. Di gugus ini juga berdiri bangunan perkantoran dan hotel. Di bagian depan ada bangunan Gedung Medan Pemuda sebagai pusat perkantoran, bank dan bursa efek. Dulu Bursa Efek Surabaya (BES) cukup maju, kemudian bergabung dengan Bursa Efek Jakarta (BEJ) dengan nama baru BEI (Bursa Efek Indonesia) yang berpusat di Jakarta. Di bagian belakang gedung ini, berdiri satu gedung lagi, bernama WTC (World Trade Centre) atau Pusat Perdagangan Dunia, namun lebih didominasi oleh perdagangan HP (Handphone).
Pusat perbelanjaan Surabaya, ternyata tidak bisa jauh dari kawasan Kembang Jepun. Investor melirik kawasan terminal dan pertokoan di Jembatan Merah. Ditambah dengan perumahan semi permanen di belakangnya, maka berdirilah pusat perdangan dengan nama Jembatan Merah Plaza (JMP). Tahap demi tahap kawana JMP semakin luas, bahkan komplek penjara Kalisosok yang berdiri sejak tahun 1.800 pun akhirnya tergusur. Penjara yang dinyatakan sebagai cagar budaya itu, kemudian dipindah ke Porong, Sidoarjo. Belum jelas, hingga memasuki tahun 2010, bangunan apa yang akan didirikan di atas lahan penjara tertua di Surabaya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar